Kerajaan Aceh mencapai kebesaran pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Pada masa ini,
banyak pedagang dari daerah lain yang datang ke Aceh untuk membeli
hasil buminya. Peninggalan kebudayaan pada masa pemerintahan Iskandar
Muda yaitu masjid Baiturrahman.
Setelah
Iskandar Muda wafat digantikan oleh Sultan Iskandar Thani. Tata
pemerintahan Aceh diatur dalam undang-undang yang disebut Adat Mahkota
Alam. Berdasarkan tata pemerintahan tersebut, wilayah Aceh dibagi dalam
wilayah sagi dan wilayah pusat kerajaan. Setiap sagi terdiri dari
sejumlah mukmin dan dikepalai oleh panglima sagi yang disebut hulubalang
besar.
Sebagai
negara Islam, Aceh disebut Serambi Mekah karena Aceh menjadi pusat
penyebaran Islam di Asia Tenggara dan untuk memperdalam Islam lebih
dahulu belajar ke Aceh untuk mendapatkan dasar Islam yang kuat.
Masyarakat
Aceh dikelompokkan dalam golongan Teuku, yakni golongan masyarakat
bangsawan, dan golongan Tengku, yakni golongan agama. Penghasilan
Kerajaan Aceh didapat dari penarikan pajak dan cukai yang terdiri dari
beberapa macam antara lain pajak pasar dan cukai intan. Dalam bidang
sastra, Aceh banyak melahirkan tokoh-tokoh, antara lain Syamsuddin
Pasai, Hamzah Fansyuri, Nuruddin ar-Raniri, dan Abdul al-Rauf.
Nuruddin
ar-Raniri mengarang Bustanus Salatin (taman raja-raja dan adat istiadat
Aceh serta ajaran Islam). Abdul al-Rauf dari Singkel (Syeikh Kuala)
membuat tafsir Al-quran dalam bahasa Melayu. Ia menentang aliran
heterodoks (makhluk yang diciptakan sebagai penampilan dari
penciptanya).
Aliran yang
dianutnya adalah aliran ortodoks, yakni Allah pencipta dan makhluk
ciptaan-Nya tidak dapat mengetahui keadaan-Nya. Setelah wafatnya Sultan
Iskandar Muda, tidak ada pengganti yang bijaksana sehingga menyebabkan
kemunduran Aceh. Selain itu, mundurnya perdagangan Aceh akibat Malaka
jatuh ke tangan Portugis sehingga pedagang Islam beralih ke Demak juga
menyebabkan kemunduran Aceh.
Posted by Ade Dara Geofany
Tidak ada komentar:
Posting Komentar